Apa itu Faham Relativisme? Bagaimana Pandangan menurut Islam? Begini Pembahasannya!!

Relativisme ialah sebuah faham yang memegang prinsip bahwa kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang tidak mutlak alias relatif. Apa yang dipandang sebagai kebenaran oleh orang belum tentu berlaku untuk orang lain. Menurut paham ini kebenaran ditentukan oleh siapa yang menjadi pelakon, karena setiap individu dipengaruhi oleh sejarah, budaya, dan psikologi. Ukuran untuk memandang suatu kebenaran pun menjadi kompleks dan tak pasti. Karena tidak ada ukuran umum atau satu pijakan tertentu untuk menilai sebuah kebenaran. Labih jauh, setiap orang boleh berpendapat kebenaran sebagai kesalahan atau pun sebaliknya.

Doktrin ini memberikan pengaruh besar terhadap cara berpikir para cendekiawan muslim. Terbukti dari berbagai pernyataan yang keluar dari lisan maupun tulisan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid, “Hanya Allah yang mutlak, dan selain Allah, meskipun mengandung kebenaran, adalah nisbi, dan kebenarannya pun nisbi. Bagaimana mungkin manusia yang nisbi mencapai suatu yang mutlak”. Pernyataan ini menegaskan bahwa manusia sungguh tidak bisa mencapai kepastian akan kebenaran. Kebenaran tidak akan datang kepada manusia. Apa yang telah dan akan diketahui dapat berubah-ubah seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan waktu. Pernyataan lain ialah setiap agama tidak boleh merasa benar atau paling benar. Karena dalam keyakinan mereka yang terjerat relativisme, seluruh agama dalam perjalanan sejarahnya mengalami penyimpangan dalam hal doktrin mapun praktik-praktiknya.Dan masih banyak terdapat berbagai argumentasi relatifistik semakna dengan yang diungkapkan sebelumnya. Berpijak pada fenomena di atas, tulisan ini berusaha untuk menghadirkan dua tema utama. Yakni menelusuri makna relativisme dan mengkaji problem doktrin relativisme dalam pemahaman agama.

Relativisme diilustrasikan ibarat virus yang memiliki beberapa dampak dan memiliki potensi untuk merubah cara berpikir umat manusia, yang kemudian melekat hingga menjadi karakteristik manusia berpikiran relatifistik. Di antaranya ialah munculnya keyakinan yang tertuang dalam bahasa lisan maupun tulisan bahwa “manusia adalah makhluk relatif”, apa yang dicapainya pun bersifat relatif. Kebenaran yang dianggap benar, boleh dianggap salah oleh orang lain. Sebab itu, menjadi sebuah kekeliruan bila orang menyalahkan orang lain, dan membenarkan pendapatnya. Kemudian memaksakan kebenaran kepada orang lain juga sebuah kesalahan.

Selain hal di atas, tidak sedikit juga ditemukan ungkapan seirama. Seperti halnya “kebenaran itu relatif”. Jelasnya, ketika kebenaran tidak pasti, maka tidak ada yang namanya siapa yang benar, apa yang benar, di mana yang benar, kapan yang benar, dsb. Karena siapa saja boleh berkata benar ataupun sebaliknya. Dan juga karena relatif, maka memungkinkan untuk dipersalahkan. Muncul juga pendapat bahwa “Kebenaran tidak memihak”. Ketika, kebenaran tidak memihak maka kebenaran ada di mana saja dan untuk siapa saja. Misalkan satu pendapat mengatakan bahwa Tuhan itu beranak dan yang lainya mengatakan bahwa Tuhan itu tidak beranak, berarti kedua pendapat ini sama-sama benar karena tidak memihak. Maka dari itu kebenaran harus memihak agar kebenaran memiliki kepastian dan ukuran umum.

Adapun relativisme yang terjadi dalam Islam yang dilakukan oleh para “pembaharu” muslim merupakan dampak dari pemihakan liberal terhadap metode historis dalam mengkaji Islam. Karena ide sejarah dibangun di atas bangunan fondasi bahwa sejarah adalah produk manusia. pandangan ini menghadirkan sebuah kesimpulan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam baik akidah, syariat, al-Qur’an dan sunnah, serta semua khazanah klasiknya adalah hasil interaksi umat dengan ruang dan waktunya. Di ranah ini, agama diperlakukan sebagai ide, dan setiap ide mungkin berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Karena itu, dalam perspektif liberal, setiap masalah bisa berubah, walaupun kebenarannya sudah diterima dari generasi ke generasi.

bahwa doktrin relativisme yang dicetuskan protagoras, kemudian dikembangakan oleh Nietzche dan—sengaja ataupun tidak—diwarisi oleh para cendekiawan muslim saat ini; yang berprinsip bahwa kebenaran itu relatif, tidaklah dapat dijadikan sandaran. Sebab pada kenyataannya, segala macam tidak bisa semena-mena bernilai relatif begitu saja, ada beberapa hal yang secara bersamaan bernilai absolut. Artinya tidak semua dapat bernilai relatif dan tidak semua dapat dikatakan absolut. Tetapi meskipun demikian keduanya tidak dapat berganti tempat dan posisi; maka tidak sepatutnya yang relatif diabsolutkan dan begitu juga sebaliknya.

Login