Kesalahan Fatal Apabila Meninggalkan Sholat Dengan Sengaja!!Bagaimana Hukumnya??

Sungguh, banyak di antara kaum muslimin sekarang ini yang meremehkan masalah shalat dan melalaikannya, dan bahkan ada yang meninggalkannya sama sekali, karena menganggapnya hal yang sepele. Oleh karena masalah ini termasuk salah satu masalah besar, yang melanda umat pada saat ini, dan menjadi ajang perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan para imam mazhab dari dulu hingga kini.

Masalah ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat besar, diperdebatkan oleh para ulama pada zaman dahulu dan masa sekarang. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yaitu kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.

Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”. Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبِّيْ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُۖ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ

Dan apa pun yang kamu perselisihkan padanya tentang sesuatu, keputusannya (terserah) kepada Allah. (Yang memiliki sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya aku kembali.( Surah Asy-Syura : 10)

Dan Allah juga berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

  1. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( QS. An-Nisa’ :59 )

Oleh karena masing-masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing-masing pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu di antara keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan Ditegaskan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak kami, dan kamipun membai’at beliau, di antara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda beliau:” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang- terangan yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”

Tidak ada satu nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. Kalaupun ada hanyalah nash-nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya, namun nash-nash tersebut muqayyad (dibatasi) oleh ikatan-ikatan yang terdapat dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari pada dalil yang umum.

Login