Menyambut Datangnya Maulid Nabi!! Inilah Asal Usul dan Sejarah Maulid Nabi

Perayaan ini dimulai pada hari-hari awal Islam, abad ke-11. Maulid Nabi dimulai di Mesir dengan Syiah Fatim yang merupakan keturunan Ali (Imam keempat) Maulid ini menarik setimiah besar umat muslim yang berkumpul untuk sholat di masjid al-Azar. Mereka membacaAl-Qur’an. kemudian, mereka berinteraksi dengan orang-orang kurang mampu, penjaga masjid, dan pejabat agama lain untuk berbagi manisan yang disiapkan khusus. Awainya, har itu dig&takan untuk memperingati empat Maulid, yakni Muhammad, Ali, Fatimah, dan khalifah yang berkuasa Pada 1207, Muzaffar al-Din Gökburi mengawasi persiapan dan perayaan di Erbil, beberapa kilometer jauhnya dari Irak.

Di Indonesia, perayaan maulid nabi disahkan oleh negara sebagai hari besar dan hari libur nasional. Tahun-tahun terakhir peringatan ini diadalakan di Masjid Istiqlal dan selalu dihadiri oleh Presiden. Di Indonesia, perayaan maulid Nabi diselenggarakan di surau-surau, masjid-masjid, majlis ta’lim dan di pondok-pondok pesantren dengan beragam cara yang meriah dan dengan sejumlah acara, antara lain; khitanan masal, pengajian.dan berbagai perlombaan. Malam hari tanggal 12 Maulid merupakan puncak acara. Biasanya mereka membaca sirah nabawiyah (sejarah hidup Nabi sejak kelahiran sampai wafatnya), dalam bentuk prosa dengan cara berganti-ganti dan kadang-kadang dengan dilagukan. Masyarakat di setiap daerah memiliki cara tersendiri untuk merayakan kelahiran manusia agung tersebut. Meskipun seringkali tidak ada hubungan langsung antara kelahiran Nabi Muhammad dan upacara yang mereka lakukan. Di daerah Yogyakarta.

Di daerah Yogjakarta tradisi muludan dilakukan kegiatan tradisi budaya Sekatenan. Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW.Tradisi budaya Jawa yang biasanya dilakukan masyarakat tertentu adalah ritual memandikan benda-benda pusaka. Benda-benda pusaka seperti keris, tombak atau barang pusaka lainnya tersebut dimandikan dengan air yang sudah di racik dengan ramuan bunga tujuh warna yang kemudian air bekas ‘memandikan’ benda-benda pusaka tersebut bisa diambil. Sebagian masyarakat meyakini bahwa air tersebut mengandung berbagai macam khasiat dan berguna untuk berbagai keperluan dan keberkahan.13 Kata Sekaten secara turun temurun merupakan bentuk transformasi kalimat “Syahadat”. Syahadat yang banyak diucapkan sebagai Syahadatain ini kemudian menyatu dengan bahasa lokal khususnya kultur dan sastra Jawa sehingga menjadi Syakatain dan pada akhirnya bertransformasi menjadi istilah Sekaten hingga sekarang.

Login